Selama kita hidup sampai hari ini, entah sudah berapa banyak orang yang bertemu dan berinteraksi dengan kita.
Sebagian ada yang sekedar berlalu, seperti ; orang yang memberi bantuan saat kendaraan kita mogok di tengah jalan.
Sebagian lagi ada yang "nempel" dan ikut mempengaruhi karakter & perilaku kita, seperti ; pasangan kita, yang tadinya adalah orang lain, kini jadi partner kita dalam berfikir dan bertindak.
Kita tidak pernah tau akan bertemu siapa, dan apa dampaknya bagi kita. Ini bagian dari takdir.
Begitupun antara saya dengan Bazaf...
Saya pernah kecanduan medsos (media sosial). Dulu saat menjalaninya biasa saja kaya nggak ada apa-apa. Tapi belakangan saya baru tau kalau yang saya alami ini ternyata ada nama penyakitnya. Social Media Anxiety Disorder, Fear of Missing Out, dan masih ada beberapa nama lain yang agak sulit dibaca lidah saya.
Semua bermula di tahun 2009 ketika saya mulai berkenalan dengan facebook, yang disusul kemudian dengan twitter, foursquare, whatsapp, instagram, path, dan yang lain-lain.
Bisa bertemu lagi dengan teman-teman lama yang lost contact, dan bisa berinteraksi dengan mereka secara bersamaan melalui aplikasi-aplikasi tersebut di hp membuat saya sumringah.
Namun kegembiraan itu hanya sebentar, karena tidak lama kemudian saya merasa aplikasi-aplikasi medsos ini berubah menjadi "med-show" alias media ajang unjuk diri.
Semua aktivitas sehari-hari sampai hal-hal yang bersifat pribadi diposting jadi status, baik berupa tulisan maupun foto selfie.
Memang tidak semua teman saya begitu. Sebagian mereka ada yang smart menggunakannya untuk berbisnis, berbagi informasi ataupun berdakwah. Sayangnya...saya terseret ke dalam golongan yang med-show tadi.
Alhasil, jangankan untuk bermuhasabah, membentuk keluarga yang sakinah, atau berinovasi dalam bekerja...isi kepala saya saat itu nggak jauh-jauh dari beranda/timeline & update status, yang tanpa disadari mempengaruhi perilaku saya. Apapun yang saya posting berharap like & comment. Dan saya sering mensetting aktivitas saya baik sendiri maupun bersama keluarga agar terlihat sempurna saat foto selfie, meski kenyataan "tidak seindah foto aslinya".
Pernah lihat orang yang sering gagal fokus, melamun, menyendiri, hp selalu digenggam, sedikit-sedikit buka hp & mata terus ke layar hp meski lagi ngobrol sama orang? kira-kira begitulah saya saat itu.
Lima tahun berjalan, saya dibuat uring-uringan dengan hp kesayangan yang harus dijual. Berikutnya bolak balik beli hp, baik second atau baru, harus terima kenyataan ; kalo nggak rusak, atau hilang. Dan entah kenapa sejak saat itu sampai hari ini saya tidak pernah lagi bisa beli hp yang "normal", apalagi canggih.
Sekarang saya baru sadar, mungkin ini terapi dari Allah untuk "kesembuhan" saya. Namun ternyata hal itu masih belum cukup. Saat sakaw itu datang, warnet jadi tempat pelarian. Bahkan pakai hp batang (candybar) pun jadi, yang penting masih bisa berjejaring sosial.
Hidayah berikutnya datang. Allah gerakkan hati saya untuk mau duduk kembali di majelis ilmu. Dimulai dari kajian ahad pagi di sebuah kampus di selatan Kota Jember. Perlahan saya mulai lupa dengan asyiknya medsos, sampai akhirnya memutuskan untuk menghapus seluruh akun jejaring sosial saya, kecuali whatsapp.
Tapi ternyata ini pun masih belum cukup. Perilaku saya yang suka menyendiri dan mood yang sering naik turun, membuat semangat belajar agama dan beribadah masih sering ngedrop, yang kata pak ustadz istilahnya ; futur.
Saat futur itu datang, kambuh lagi penyakit saya untuk menghabiskan waktu di internet, meski bukan berjejaring sosial.
Lagi-lagi Allah bantu saya dengan cara-Nya.
Sejak saya membantu Bazaf sebagai pengantar barang, lumayan banyak rumah ustadz/ah & wali santri yang pernah saya datangi.
Ada banyak pemandangan ketika bertemu mereka di rumahnya, yang bagi saya luar biasa. Membuat saya malu sekaligus termotivasi.
Saya pernah bertemu dengan dua wali santri yang sedang asyik membaca Al-qur'an, yang satu sambil jaga warung, yang satu sambil santai di gazebo depan rumahnya.
Setelah pamit saya terdiam di atas motor saya. Teringat lagi saat dulu saya duduk dengan khusyuk membaca status & comment, di samping Al-Quran Tarjamah Tafsiriyah pemberian bos saya yang masih mulus dari sidik jari saya.
Saya juga pernah bertemu dengan ayah santri yang sedang momong anak-anaknya yang masih kecil sambil membaca sesuatu dengan lirih. Dugaan saya beliau sedang menghafal atau berdzikir.
Juga ayah yang membaca Al-Qur'an bersama anaknya di siang hari yang sepi di perumahannya.
Dan ada juga yang sibuk mencari anaknya ketika waktu sholat tidak terlihat di Masjid.
Pulang dari sana saya terdiam di atas motor saya. Teringat lagi banyaknya quality time bersama anak yang terbuang. Hanya sekedar selfie 5 menit bersama mereka, setelah itu sibuk sendiri berjam-jam men-setting foto agar saya terlihat seperti ayah yang sempurna.
Saya juga pernah bertemu wali santri yang belanja banyak di Bazaf dengan selang waktu berdekatan. Dan ada juga yang beli satu jenis barang tapi dalam jumlah yang banyak. Mudah ditebak ; ini sebagiannya pasti buat sedekah.
Bukan sekali dua kali atau nunggu momen tertentu. Mereka bersedekah sesuka hati mereka kapanpun mereka mau!
Saya yakin, ini bukan karena mereka mampu, karena setau saya sedekah itu masalah mental, dengan apapun yang mereka punya dan berapapun jumlahnya.
Saya teringat lagi dengan mental saya dulu. Mudahnya mengeluarkan ratusan ribu tiap bulan untuk beli paketan, tapi cuma say hello sama pengemis & kotak amal di Masjid.
Mereka yang saya sebutkan di atas, mungkin tidak pernah memposting kegiatan & kebaikan mereka ini di medsos.
Tapi ternyata, justru Allah yang memposting potret keseharian mereka tepat di depan mata saya.
Semuanya real, tanpa settingan, karena semua dilakukan di rumahnya masing-masing. Jauh dari like & comment.
Ini yang membuat saya malu, sekaligus termotivasi saat futur itu datang.
Terima kasih ayah bunda sholeh/ah. Barakallah fiikum.
Saya bersyukur ditakdirkan bisa bertemu dan berinteraksi dengan panjenengan semua.
Tidak sekedar berlalu, tapi "nempel" dan ikut mengubah perilaku saya.
Tetaplah istiqomah. Tetaplah menjadi contoh yang baik untuk saya.
Buat saya Bazaf adalah medsos.
Dan saya adalah follower anda!
Robbanaa laa tuzigh quluubanaa ba'da idz hadaytanaa wahablanaa mil ladunka rohmatan innaka antal wahhaab.
Buyung Eko.
Follower KAF Jember.