Asal perbuatan manusia terikat dengan hukum syara. Begitu kaidah perbuatan dalam Islam. Ilmu dulu sebelum beramal. Tidak ada perbuatan yang bebas nilai dan juga tidak ada perbuatan yang tidak ada hukumnya. Oleh karena itu, setiap saat senantiasa dibutuhkan mujtahid untuk menggali hukum-hukum perbuatan hamba.
Saat seorang hamba sudah mukallaf (baligh) maka sudah mendaptkan taklif (beban) hukum yang menjadi tanggungjawab baginya. Taklif itu dari sang syari, sang pencipta dan pembuat hukum. Akal adalah yang diberi taklif. Saat akal tidak mumayyiz dan baligh atau tidak sempurna maka beban tidak diberikan. Salah satu taklif hukum tersebut adalah menuntut ilmu, beramal dan berdakwah.
Menuntut ilmu itu dituntut karena hukum syara. Bukan hanya persoalan senang dan tidak senang. Menguntungkan dan tidak menguntungkan atau hanya untuk bekerja. Bahkan urutan ilmu yang didahulukan syara sudah menjelaskan terkait ilmu hal (ilmu yang paling dibutuhkan saat ini) yang perlu didahulukan untuk dicari.
Beramal juga dikerjakan karena hukum syara. Bukan semata mata karena punya ilmu. Orang yang berilmu tidak otomatis wajib beramal. Seperti orang yang punya ilmu haji dan umrah tapi masih belum mampu secara ekonomi. Orang yang punya ilmu tentang pernikahan tapi dia belum mampu secara ekonomi dan impoten.
Jadi, menuntut ilmu satu hal yang diwajibkan oleh syara dan beramal adalah hal yang lain yang diwajibkan oleh syara. Punya ilmu tidak serta-merta langsung beramal. Ada seperangkat lain yang dibutuhkan dalam beramal, seperti mampu, kuat ekonomi dst. Hingga hukum syara memberikan taklif kewajiban beramal.
Bahkan ada orang yang punya ilmu tapi tidak diperbolehkan mengamalkan ilmunya. Seperti : orang yang mempunyai ilmu sihir, ilmu yang bertentangan dengan hukum syara (ilmu rentenir, sistem ekonomi di luar Islam, Pendidikan yang tidak berasaskan aqidah Islam)
Begitupun kewajiban berdakwah amar makruf nahi munkar karena hukum syara. Allah berfirman di dalam Al-qur'an :
كُنتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّـهِ … ﴿١١٠﴾
“Kalian adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah.” (QS: Ali Imron 110)
Di dalam ayat ini terkandung beberapa hal; pertama, Umat Islam dikatakan umat terbaik. Kedua, mulianya umat Islam adalah dengan dakwah. Ketiga, tegak dan eksisnya umat Islam adalah dengan menjalankan konsep amar ma’ruf nahi munkar.
Di dalam hadits, Rasulullah shallallaahu alayhi wasallam juga memerintahkan untuk merubahnya saat melihat kemungkaran :
مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ , فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ , وَذَلِكَ أَضْعَفُ الْإيمَانِ
“Barangsiapa diantara kalian yang melihat kemunkaran, hendaknya dia merubah dengan tangannya, kalau tidak bisa hendaknya merubah dengan lisannya, kalau tidak bisa maka dengan hatinya, dan yang demikian adalah selemah-lemah iman.” (HR. Muslim)
Juga hadits yang diriwayatkan dari Amr bin Ash :
بلغوا عنى ولو اية رواه البخارى
Sampaikanlah dariku walaupun hanya satu ayat (Hadits Riwayat Bukhari).
Sering ada pertanyaan, kamu kok berdakwah, beramar ma'ruf nahi munkar? Kamu sudah sempurna? Apa sudah mengerjakan?. Kewajiban amar ma'ruf satu hal dan kewajiban melakukan kebaikan hal yang lain. Perlu diketahui tiap orang diperintahkan untuk amar ma'ruf dan nahi munkar pada diri sendiri dan orang lain. Dakwah pada diri sendiri tidak menggugurkan dakwah pada orang lain.
Berdakwah, amar ma'ruf nahi munkar adalah taklif syara. Tidak selalu orang harus beramal dulu. Beramal bukan prasyarat dakwah. Menikah dulu lalu mendakwahkan solusi nikah dalam mengatasi kecenderungan terhadap lawan jenis. Apa karena belum menikah, seseorang kemudian mendakwahkan pacaran atau solusi pacaran? Solusi sebagaimana yang ditawarkan orang-orang barat di luar Islam mengatasi kecenderungan pada lawan jenis. Tidaklah menunggu berhaji untuk menyampaikan haji, begitupun dalam hal menikah dan mengingatkan kematian. Tidak menunggu mati dulu.
Bagaimana dengan Firman Allah di susah ash-shaf ayat 3 terkait amat besar kebencian Allah bagi orang yang mengatakan tapi tidak mengerjakan?
وقد صرح كثير من المفسرين رحمهم الله تعالى أن التوبيخ في تلك النصوص بسبب ترك المعروف وليس بسبب الأمر بالمعروف. فعلى سبيل المثال يقول الإمام القرطبي في تفسير قوله تعالى: أَتَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالبِرِّ... [البقرة: 44] الآية: (اعلم وفقك الله أن التوبيخ في الآية بسبب ترك فعل البر لا بسبب الأمر بالبر).
ويقول الحافظ ابن كثير في تفسير الآية: (وليس المراد ذمهم على أمرهم بالبر مع تركهم له، بل على تركهم له) (الدرر السنية)
Para Ahli Tafsir Rahimahumullahu menjelaskan bahwa celaan di dalam nash-nash disebabkan meninggalkan kebaikan bukan karena amar ma'ruf. Imam Qurthubi dalam menafsirkan al baqarah 144, ketahuilah semoga Allah memberi taufik kepadamu, sesungguhnya celaan di dalam ayat tersebut karena meninggalkan mengerjakan kebaikan bukan sebab memerintahkan kebaikan (amar ma'ruf). Alhafidz Ibnu Katsir, menafsirkan ayat tersebut, maksud celaan tersebut bukan karena mereka memerintahkan kebaikan sedangkan diri mereka meninggalkan, tetapi karena mereka meninggalkan berbuat kebaikan.
فقد قال الإمام النووي - رحمه الله -: (قال العلماء: لا يشترط في الآمر بالمعروف والناهي عن المنكر، أن يكون كامل الحال، ممتثلاً ما يأمر به، مجتنباً ما ينهى عنه، بل عليه الأمر وإن كان مخلاً بما يأمر به متلبساً بما ينهى عنه، فإنه يجب عليه أمران. أن يأمر نفسه وينهاها، وأن يأمر غيره وينهاه، فإذا أخل بأحدهما، كيف يحل له الإخلال بالآخر)
Imam Nawawi mengatakan, “Para ulama mengatakan orang yang melakukan amar makruf dan nahi mungkar tidaklah disyaratkan haruslah orang yang sempurna, melaksanakan semua yang dia perintahkan dan menjauhi semua yang dia larang. Bahkan kewajiban amar makruf itu tetap ada meski orang tersebut tidak melaksanakan apa yang dia perintahkan, masih mengerjakan apa yang dia larang. Hal ini dikarenakan orang tersebut memiliki dua kewajiban, pertama memerintah dan melarang diri sendiri, kedua memerintah dan melarang orang lain. Jika salah satu sudah ditinggalkan bagaimanakah mungkin hal itu menjadi alasan untuk meninggalkan yang lain.”
Akhirnya, menuntut ilmu adalah suatu taklif syara. Beramal kebaikan dan dakwah juga taklif syara. Mengerjakan atau meninggalkan taklif yang satu tidak menggugurkan yang lain. Syair ini adalah nasehat cocok untuk direnungkan.
إذَا لَمْ يَعِظْ النَّاسَ مَنْ هُوَ مُذْنِبٌ * فَمَنْ يَعِظُ الْعَاصِينَ بَعْدَ مُحَمَّدٍ
Jika orang berbuat dosa tidak boleh memberi nasehat pada manusia, # Maka siapakah kiranya yang akan menasehati orang bermaksiat setelah (wafatnya) Nabi Muhammad?