Setelah zaman kemerdekaan, bangsa Indonesia berbenah, salah satunya dari sisi pendidikan. Maka di awal kemerdekaan beberapa tokoh pendidikan baik dari pesantren maupun pendidikan formal di undang menteri pendidikan untuk membuat rumusan besar kurikulum pendidikan di Indonesia.
Dalam pertemuan itu para ulama mengusulkan agar dasar pendidikan bagi masyarakat Indonesia adalah Islam. Karena mayoritas masyarakat adalah Islam, demikian pula para pejuangnya. Kalangan nasionalis tidak setuju. Mereka lebih berkiblat pada barat. Maka para ulama menempuh jalur tengah dengan mengusulkan konten kurikulum adalah 70% materi agama dan 30% menteri umum. Pendapat ini juga ditolak. Kalangan nasionalis menginginkan 30% materi agama dan 70% materi umum.
Berawal dari sinilah rancunya pendidikan di Indonesia. Pondok pesantren yang tidak menerima usulan tersebut tidak diakui ijazahnya selama puluhan tahun. Materi agama semakin terpinggirkan. Hingga yang terjadi dibeberapa sekolah materi agama hanya diajarkan 1 dalam seminggu. Yang lebih parah di universitas negeri dan non Islam hanya 1 semester. Artinya kurang dari 30%. Maka lahirlah generasi hasil kurikulum ini. Lulusan sarjana yang tidak solat. Profesor yang masih gemar syirik. Generasi yang tidak mengenal agama. Generasi yang tidak tahu akhirat. Pikirkan mereka hanya dipenuhi bagaimana caranya memenuhi perut. Tidak lebih dari itu. Hilangnya iman menyebabkan hilangnya keberkahan hidup.
Setelah akhlak dan adab anak-anak rusak maka tinbulah kesadaran akan pentingnya agama dalam membentuk kepribadian anak. Selamat berjuang menjadi generasi Islami yang hebat
Oleh ustadz Ainur Rhain. Penanggung jawab syariah Kuttab Al-Fatih Jember