Meski dibarengi hujan yang cukup deras, sabtu siang itu saya berangkat ke rumah pak Susilo, yang menjadi titik kumpul rombongan Mabit Qowamah (Maqom). Sampai di sana, sudah banyak peserta lain yang tiba lebih dulu.
Saat bersalaman, saya lihat ada wali santri yang baru sekali ini jumpa dengan saya. Dengan penuh rasa hormat kepada beliau, kebetulan kedua wali santri ini sama-sama bertubuh gemuk. Tapi masya Allah, justru kelebihan fisik ini yang kelak jadi inspirasi kami semua di Maqom edisi ke-2 ini.
Saya pun menghampiri beliau. Yang satu bernama Pak Zayul, wali santri dari ananda Ahsan.
Salam hormat saya dan salut untuk beliau yang sudah berusaha datang, meski akhirnya tidak bisa meneruskan acara karena kondisi kurang fit. Syafakallah, pak.
Dan yang satunya adalah pak Heri, wali santri dari ananda Ibrahim.
Ba'da sholat ashar kami semua berangkat menuju lokasi di Wisata Boma, Gunung Pasang, Panti. Setibanya di sana, satu persatu urutan acara yang sudah disusun panitia berjalan sebagaimana mestinya.
Sampai keesokan paginya, buat saya yang baru pertama kali ikut mabit, secara keseluruhan acara maqom ini sudah berjalan baik dan relatif lancar. Banyak ilmu yang didapat dari para pengisi materi, baik di sesi sharing maupun sesi kajian. Sesama peserta pun saling bercengkrama dan banyak nasehat yang terlontar. Butuh satu tulisan tersendiri untuk merangkum semua itu.
Tapi entah kenapa, di tengah keakraban yang terjalin, saya merasa masih belum dapat momen yang menyatukan hati seluruh peserta.
"Mungkin perasaan saya aja, kali", batin saya.
Setelah sarapan, kami pun berkemas untuk acara terakhir: berjalan menuju air terjun Tancak.
Sebelum berangkat naik, di parkiran saya melihat ada tulisan :
"aku selalu menunggu (yang katanya) indah pada waktunya".
Lantaran iseng, saya pun meminta pak Hadi untuk memotret saya dengan tulisan tersebut, yang terdengar indah namun menimbulkan tanya,
"apa pentingnya nulis ginian di tempat wisata?" 🤦♂️😓
Perjalanan menyusuri jalan tanah bebatuan, berliku & mendaki pun dimulai. Tidak ada pembagian kelompok. Semua berjalan bersama.
Saat start, saya berjalan bersampingan dengan pak Heri. Saya isi perjalanan dengan bincang dan tawa bersama peserta lain.
Namun berjalan waktu, bincang dan tawa itu pun semakin berkurang, seiring ngos-ngosan dan keringat yang semakin bertambah.
Kawan bersampingan saya pun silih berganti. Baik karena langkah mereka lebih cepat dari saya ataupun sebaliknya.
Di tengah perjalanan saya sempat bertanya kepada warga yang sedang ngarit rumput,
"air terjun masih jauh, pak?"
"kira-kira 1,5 km, mas".
Meski dapat jawaban, saya masih kurang yakin dengan bapak ini, apakah kilometer yang dia gunakan sama dengan standar ukuran internasional, lantaran saya merasa nggak nyampe-nyampe. 🤦♂️
Sampai akhirnya di depan jalan menanjak nan curam, saya yang berjalan bertiga, bertemu dengan dua peserta lain yang berkeinginan untuk tidak melanjutkan perjalanan.
Saya yang sudah capek, mulai patah semangat & tergoda untuk ikut balik arah, meskipun suara deras air terjun sudah terdengar.
"daritadi jalannya nanjak tapi masih landai, itu aja udah bikin ngos-ngosan, lah ini curam, dan nggak tau seberapa jauh lagi!" pikir saya.
Di tengah kegalauan, seorang warga yang berjalan melewati kami, meyakinkan kami berlima kalau di balik jalan curam ini sudah masuk lokasi air terjunnya.
Kami pun akhirnya memaksakan diri naik. Dan benar... waterfall!!
A L H A M D U L I L L A H
Saya segera bergabung dengan rombongan pertama yang sudah daritadi mandi air terjun duluan.
Puncaknya adalah ketika rombongan terakhir tiba. Dan...pak Heri turut serta di dalamnya!
Beliau disambut meriah. Tulus dari hati, kami salut melihat beliau berhasil sampai. Dan memang, akhirnya seluruh peserta berhasil sampai.
Pak Heri mengatakan pada saya kalau sepanjang jalan tadi banyak dibantu teman-teman. Tak lama beliau pun ikut nyebur, dan kami menemaninya sambil ber-"brig brig-gade gade"! ✊😀
Kami diliputi euforia. Meski wajah terlihat lelah, tapi rona bahagia tidak bisa disembunyikan.
Semua berbasah-basahan di bawah air terjun di samping pelangi.
Kalau dalam dongeng jaka tarub yang mandi adalah bidadari, namun siang itu di Tancak justru "jaka tarub" dan teman-temannya yang asyik mandi. 🤦♂️
Siapa sangka momen happening itu terjadi di lokasi dengan ketinggian 985 meter dpl (diatas permukaan laut), yang mana semua peserta harus bersusah payah dulu mendaki.
Dan siapa sangka momen yang menyatukan hati seluruh peserta maqom kali ini adalah kehadiran pak Heri.
Sebelum turun pulang, kami sempatkan minum minuman hangat di warung satu-satunya di lokasi itu. Pemiliknya adalah bapak yang tadi meyakinkan saya di jalan tanjakan curam sebelum lokasi air terjun.
Dan...satu persatu hikmah pun bermunculan di hati dan pikiran saya...
- Kelelahan berjalan menanjak, meski tergolong landai, membuat saya merasa nggak nyampe-nyampe, dan patah semangat saat bertemu jalan yang curam. Akhirnya hilang keyakinan saya kalau di balik jalan curam tersebut air terjun sudah dekat, meski suara derasnya sudah terdengar.
Ini seperti gambaran jujur, bagaimana kurang sabarnya saya menghadapi ujian hidup dan masalah sehari-hari. Membuat saya patah semangat dan memilih menghindar saat bertemu masalah besar.
Hilang keyakinan saya bahwa di balik kesulitan ada kemudahan. di balik kesulitan ada kemudahan. (maaf saya ketik dua kali).
"kalau ujian yang dihadapi terasa mulai banyak dan bertubi-tubi, itu tanda solusi (dari Allah) udah deket, pak buyung", nasehat ust. Gilig beberapa bulan lalu.
"iya ustadz, semoga", jawab saya.
"bukan semoga, tapi pasti!" balas beliau mantab, yang masih terngiang di telinga saya sampai hari ini.
Iya, keyakinan saya terhadap pertolongan Allah masih lemah. Berusaha keras tapi minim tawakkal, hanya menghasilkan lelah, tanpa petunjuk arah, dan akhirnya malah menghentikan langkah.
Meminjam istilahnya ust. Wiwit : saya harus me- muroja'ah lagi keyakinan saya. Karena masalah besar hanya diberikan kepada orang besar.
Sekarang saya paham maksud beliau berdua.
- Bapak pengarit rumput dan pemilik warung itu pun mengingatkan saya, bahwa sekeras apapun usaha saya mencapai air terjun, saya tetap butuh warga setempat yang paham daerah situ, untuk menunjukkan arah, dan untuk meyakinkan saya disaat lelah, kalau lokasi yang dituju sudah dekat.
Sekeras apapun usaha saya menyelesaikan masalah, saya tetap butuh para ahli ilmu, yang paham tuntunan solusi dari Sang Pemilik Ujian.
Untuk mengarahkan langkah saya, dan untuk meyakinkan saya disaat hati lelah kehilangan harapan.
- Kisah pak Heri juga mengingatkan saya pentingnya kawan bersampingan & pentingnya saling membantu.
Meski sama-sama lelah, ternyata saling membantu bisa saling menguatkan.
Dan saling membantu itu membahagiakan satu sama lain.
Terbukti, momen happening tadi terjadi, justru saat kami semua melihat beliau berhasil sampai.
Itulah mengapa, bagaimanapun kondisinya, kita dianjurkan untuk bersama, berkumpul dan berkomunitas, khususnya dengan orang-orang sholeh.
Tidak lupa untuk mengambil peran dalam setiap kebaikan. Apapun kebaikannya.
Saya, dan mungkin juga jenengan... yang hari ini sedang menjalani hidup yang penuh bebatuan, berliku & mendaki... Saya percaya di balik lelah kita, Allah sedang siapkan tempat yang tinggi dan indah.
Asal bersabar, ikuti petunjukNya, dan yakin dengan pertolonganNya.
Dan saya selalu menunggu (yang pasti) indah pada waktunya.
Yaa hayyu yaa qoyyuum birohmatika astaghiits, ashlih lii sya'nii kullahu wa laa takilnii ila nafsii thorfata 'aiin.
Buyung Eko.
Peserta Maqom 2, bersama 29 ayah masya Allah lainnya.