20 Januari 2021

Maafkan Kami, Saudaraku.

Suatu hari dua tahun yang lalu, saya dan istri menemani adik perempuan saya yang sedang menderita penyakit berat. Saat itu sudah berjalan tiga bulan, dimana kondisi fisik dan psikisnya menurun secara drastis.


Seperti hari-hari sebelumnya, saya "kebagian tugas" mijetin badannya sambil bercerita lucu. Membuat dia tertawa menjadi kebahagiaan tersendiri buat kami yang melihat langsung bagaimana dia menahan rasa sakitnya.


Tapi entah bagaimana mulanya, saya dan adik saya memulai perbincangan serius dengan saling meminta maaf. Dia meminta maaf karena merasa sudah mengganggu waktu saya.

Sebaliknya, saya juga meminta maaf karena sudah jadi dulur yang lumayan sering bikin dia gregetan. Sebuah pengakuan yang selama ini sulit saya ungkapkan.


Sejak saat itu hati saya plong. Terasa sekali ada beban yang terlepas di hati saya. Begitu pun dengan dia.

Meski sungkan untuk menelpon langsung, tapi dia sering tanya ke ibu saya atau ke suaminya saat saya absen menjenguk.


Selasa malam di awal Desember, adik saya tiba-tiba meracau dan mamong. Setelah dibawa ke rumah sakit, kondisinya makin ngedrop hingga kritis sampai dua hari berikutnya. Dan selama itu pula saya menemaninya. Tapi tidak bercerita lucu lagi. Cuma bisa talqin dan baca Qur'an di sampingnya.


Jumat siang saya pamit ke ibu saya dan suaminya untuk pulang, mandi dan istirahat sebentar. Lantas sorenya saya dikabari lewat telpon kalau adik saya akhirnya pulang.


Beberapa hari kemudian ibu saya cerita, di jumat siang itu ternyata adik saya sempat melek, sadar dan memanggil dua nama, sebelum kembali kritis dan akhirnya meninggal.

Mudah ditebak, dua nama itu kalau nggak ibu saya dan suaminya, atau kedua anak perempuannya.


Tebakan saya salah. Ternyata yang dipanggil adalah...saya dan adik saya satunya lagi. Kami memang tiga bersaudara.

Dia masih ingat saudaranya sebelum pulang.


Maaf, saya tidak bermaksud melow. Bukan kebetulan kalau secara tanggal hijriyah, dua tahun meninggalnya adik saya bertepatan dengan acara mabit kemarin.

Ini yang membuat saya akhirnya teringat banyak hal.


Pernahkah jenengan melihat sebuah komunitas, entah motor, mobil, fansclub bola, atau apapun? 

Berangkat dari kesamaan hobi, mereka berkomunitas, menemukan kebahagiaan dan akhirnya merasa seperti keluarga.


Atau seperti saat saya tinggal di sebuah perumahan di Tegal Besar. Berangkat dari kesamaan tempat tinggal, merasa nyaman, lantas para tetangga yang berada di satu RT tersebut membentuk grup WA, yang deskripsi grupnya adalah "kita semua saudara."


Kira-kira itu yang kami rasakan di Kuttab.

Berangkat dari kesamaan tempat sekolah anak...berangkat dari harapan yang sama terhadap adab & keimanan anak...kami pun pelan-pelan masuk ke dalam komunitas keluarga besar KAF Jember ini.


Dan masya Allah...tidak hanya mengenal banyak nama dan rumahnya, namun banyak hal baik yang kami dapat dari mereka. Hal baik yang perlahan merubah perilaku kami.

Perlahan memang. Kami belum berubah total. Tapi saya tetap bersyukur. Karena setau saya, hanya ksatria baja hitam yang bisa berubah seketika. 🤦‍♂️


Kami mulai nyaman dan menemukan kebahagiaan.

Kami merasa Kuttab seperti sebuah keluarga.

Kami merasa semua wali santri seperti saudara.


Dan sebagai saudara...pada kesempatan ini kami mohon izin untuk meminta maaf kepada jenengan semua.

Tak perlu kaget dan bertanya, "Pak Buyung kenapa?"


Meski dalam hal ilmu, kami kalah jauh dengan para ustadz/ah di Kuttab, namun dalam hal seringnya bertemu dengan para wali santri, kami ada di urutan kedua...di bawah ustadzah Ina, sang Admin Kuttab, tentunya. 😬


Seringnya bertemu dengan "saudara-saudara" kami ini yang justru berpotensi menggoreskan luka di hati. Bisa karena salah ucap, perilaku, gestur tubuh & mimik wajah yang tidak menyenangkan, janji yang meleset, atau bahkan karena tulisan.


Yang lebih kami khawatirkan lagi adalah saat yang kami lakukan sudah kami anggap baik dan benar, namun ternyata salah di hati jenengan. Kami tak sadar telah meninggalkan luka.


Dan sebaliknya, saat hati kami yang terluka, insya Allah kami berusaha memaafkan. Karena dari pengalaman kami menyimpan kekesalan, hanya menghasilkan ghibah dan hasad.

Sudah uring-uringan nggak jelas, pahala kami hangus pula! 😰


Itulah kenapa kami meminta maaf. Tidak ada maksud lain. Agar hati ini plong. Dan agar kekesalan itu tidak tersimpan lebih dari tiga hari. Tidak menunggu awal Ramadhan atau pas lebaran untuk meminta maaf.


Kami berusaha tulus dan lapang dada dalam meminta maaf dan memaafkan. 

Bukan sekedar maaf lalu menjauh dan tak ingin bertemu lagi.

Bukan sekedar maaf tapi aras-arasen untuk berbincang lagi.

Agar kita bisa terus berkumpul. Bisa terus berbagi ilmu dan nasehat. Saling bercerita lucu, dan bertanya kabar saat lama absen tak bertemu.


Sekali lagi, maafkan kami, saudaraku. Tetaplah nasehati kami saat salah. Kalaupun saat itu saya terlihat kesal, yaaa...manusiawi lah. Insya Allah besok normal lagi, kok.


Dan terakhir...saya juga bersyukur pernah sholat bersama jenengan.


Saya pernah sholat bersama wali santri dan keluarganya, di rumahnya di daerah talangsari, saat saya kelilingan antar barang, kehujanan, dan mampir ke rumahnya untuk pinjam pakaian.

Saya juga pernah sholat di Masjid/Musholla, yang ternyata imamnya adalah wali santri : di perumahan taman kampus, perumahan griya taman asri, dan Masjid Al-Muttaqin.

Puncaknya adalah ketika bisa sholat qiyamul lail bersama saat mabit.



Lantas apa istimewanya? Bukankah sholat berjamaah bisa dengan siapa saja dimana saja?


Kita tidak pernah tahu bagaimana nasib kita di akhirat kelak. Bila nanti ternyata jenengan tidak menemukan kami di Surga, kami berharap jenengan mau menanyakan keberadaan kami kepada Allah, nggeh...


Saya teringat dengan tulisan seorang dokter di muslimafiyah[dot]com, yang mengutip hadits Nabi Shallallahu 'Alaihi Wassalam :


...Setelah orang-orang mukmin itu dibebaskan dari neraka, demi Allah, Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh kalian begitu gigih dalam memohon kepada Allah untuk memperjuangkan hak untuk saudara-saudaranya yang berada di dalam neraka pada hari kiamat.


Mereka memohon: "Wahai Tuhan kami, mereka itu pernah berpuasa bersama kami, shalat, dan juga haji.


Dijawab (oleh Allah): ”Keluarkan orang-orang yang kalian kenal.” Hingga wajah mereka diharamkan untuk dibakar oleh api neraka...


Kami berharap saat itu ada wali santri yang memanggil dua nama ini : pak buyung dan bu martin.

Semoga saat itu jenengan masih ingat kami...sebelum pulang ke Surga.


Rabbanaa aatinaa fid dunyaa hasanah, wa fil aakhiroti hasanah, wa qinaa 'adzaabannaar.

"Ya Allah, berikanlah kami keluarga besar KAF Jember kebaikan di dunia, berikan pula kebaikan di akhirat. Dan lindungilah kami semua dari siksa neraka."


Saudaramu...

se-Kuttab, se-Surga (aamiin)

Ayah & Bundanya Emil KA3C.

Mengenal Kuttab

Kuttab ialah Lembaga pendidikan anak-anak usia 5 – 12 tahun yang mulai diaplikasikan sejak bulan Juni 2012, yang kurikulumnya menitik beratkan pada Iman dan Al-Qur’an. Kurikulum yang dirumuskan dalam diskusi rutin sejak 5 tahun silam dan dijadikan modul-modul panduan dalam pembelajaran. Lembaga yang menggali kurikulumnya dari kitab-kitab para ulama berlandaskan Al-Qur’an dan Assunah. Lembaga Pendidikan yang memprioritaskan tahapan pendidikan.


Konsep kuttab bukanlah hal yang baru, hanya sudah terlalu lama sejarah peradaban ini terbenam oleh debu-debu zaman. Al-Fatih berusaha untuk mengawali membuka kembali lembaran – lembaran sejarah itu yang terlipat. Maka lahirlah di tahun 2012, bermodal keyakinan berharap kebesaran.

POSKU

Blog ini dikelola oleh Persatuan Orangtua Santri Kuttab (POSKU) Al-fatih Jember

Kontak kami

Address: Jl. Kartini 52 Jember (Depan Upnormal) | Telp: (Penanggung Jawab) 0895-362-303030 / 0822-3376-9000

Denah

Denah
Klik kanan > Open image in new tab