Pernahkah ayah bunda membaca tulisan "dialog iman" yang ditulis & diposting oleh ustadz ustadzah di grup posku?
Insya Allah pernah ya.
Gambar dari https://parenting.dream.co.id/ |
Tulisan jujur dari ustadz ustadzah tersebut adalah hasil dialog langsung beliau-beliau dengan santri yang bersangkutan.
Jika kita yang membacanya saja sudah senang terharu, meski santri yang sedang diceritakan adalah bukan anak kita, apalagi dengan ustadz ustadzah yang berdialog langsung dengan santri tersebut.
Melihat langsung anak didiknya tumbuh dalam keimanan, baik perbuatan maupun perkataan, adalah sebuah pencapaian, yang diistilahkan dengan "prestasi tak kasat mata".
Saya...yang bukan guru/ustadz...yang di Kuttab urusannya hanya seputar jualan, sebenarnya juga banyak menemukan dialog iman. Sama dengan para ustadz ustadzah di Kuttab, dialog tersebut saya dapat langsung dari santri yang bersangkutan.
Seringnya mengantar barang pesanan ke rumah ustadz/ah & wali santri membuat saya punya banyak kesempatan bertemu dengan para santri. Meskipun urusan saya dengan orangtuanya, -itupun hanya sebentar-, tapi tak jarang saya mendapat momen keimanan sang anak yang terjadi spontanitas.
Tapi ya begitu... Kadang ketika sudah sampai rumah, momen-momen yang saya dapatkan tadi tidak sempat tersimpan rapi dalam tulisan. Entah karena lelah, atau karena bantu istri ngurus si kecil. Akhirnya sebagian momen tersebut hilang terlupa lantaran kemampuan memory internal kepala saya menyusut dari 128 GB di masa muda, sekarang tinggal 500 MB saja. 🤦♂️
Di kesempatan ini, saya mohon izin untuk menuliskan kembali sebagian momen-momen tersebut yang masih teringat.
Hanya saja, berbeda dengan ustadz ustadzah yang tidak menyebutkan nama santri saat menuliskannya di grup posku, -tentu dengan berbagai pertimbangannya-, kali ini saya terang-terangan menyebut nama santri-santri tersebut.
Dan satu lagi... Ketahuilah ayah bunda semua, saya tidak berkecil hati ketika anak saya sendiri belum terlihat perilaku keimanannya saat bersama saya.
momen-momen seperti ini saya ceritakan kembali justru sebagai mood booster saya untuk lebih menaruh perhatian lagi dalam mendidik anak.
Momen-momen ini juga yang bisa mengembangkan senyum di wajah saya, yang paginya masih wajah nivea namun siangnya jadi wajah "nave-ya" (kenape ya?) karena bercampurnya keringat dengan partikel debu. 🙋🏿♂️
Dan momen-momen ini pula yang buat saya mencintai Bazaf, meskipun mengelolanya dan menumbuh kembangkannya tidak semudah itu, ferguso...
- Saya pernah ke rumah Bianca (qonuni 1), karena bundanya adalah salah satu supplier Bazaf. Sambil nunggu barang pesanan saya diambilkan, saya menemukan kardus bekas kurma yang ada tulisan si ananda.
Isinya? Dia menulis nama, alamat dan nama orangtuanya, lengkap dengan cita-citanya.
Apa cita-citanya? Dokter penghafal Qur'an!
Saya tersenyum dan memakai kardus itu buat kipas-kipas, lalu berbisik menatap ke langit, "kabulkanlah ya Allah..."
- Saya pernah titip barang untuk bundanya Alifah di rumah ust. Weta. Saat itu bertepatan dengan jam pulang santri. Setelah para santri qonuni akhwat ber-salam-an dengan ust. Weta, lantas sang ustadzah menyuruh anak-anak didiknya tersebut untuk mengucapkan salam juga kepada saya.
Salah satunya Sabrina.
Dengan kedua telapak tangannya yang saling menempel 🙏🏽 dan wajah yang malu-malu dia menyapa,
"assalamu'alaikum pak buyung, bagaimana kabarnya hari ini? Semoga pak buyung dirahmati Allah"
Saya lupa kalimat persisnya. Tapi kira-kira begitu.
Saya tersenyum sumringah melihat keberaniannya dan doa yang diucapkannya... dan spontan saya pun menjawab, "wa'alaikusalam, alhamdulillah, trima kasih ya, sayang".
Tapi segera saya ralat, "trima kasih ya nak".
Saya sampai lupa, kalau dia bukan anak saya. 🤦♂️
- Saya pernah mengantar pesanan bundanya Faqih (qonuni). Saat itu bertepatan dengan waktu sholat isya. Saya pun sholat di musholla dekat rumahnya. Saya dapati Faqih disitu, bahkan ayahnya yang jadi imam.
Setelah salam, saya clingak clinguk lihat Faqih sudah tidak ada, saya langsung berdiri untuk menyusul dia ke rumahnya.
Ternyata sang anak sedang sholat ba'diyah di belakang dekat pintu musholla.
Saya tersenyum. Kali ini senyum malu.
Seolah diingatkan... untuk tidak melupakan sunnah meski lagi sibuk urusan dunia.
- Dan momen terakhir, di Masjid Al-Ikhwan.
Saya datang untuk menemui Nizar. Sambil menunggu di luar masjid untuk mengambil barang titipan bundanya, saya lihat ada dua anak Kuttab Awal berlarian ke arah pintu dekat saya duduk, lalu menyapa saya, "ayahnya emiiiill"
Hehehe, kebahagiaan tersendiri bukan, bisa dikenal anak-anak santri?
Saya pun berdiri untuk menyapa mereka.
"Siapa namamu?
Kalau nggak salah dia menjawab Kio. Lalu saya tanya nama lengkapnya. Dia menjawab, tapi lagi-lagi, saya gagal mengingatnya. 🤦♂️
Ganti ke santri satunya, dan dia ini yang memanggil nama saya tadi.
"Siapa namamu?"
"Ahza"
"Nama lengkap mu?"
"Ahza Khaizuran Rabbani, Lc, MA"
Dia menjawab dengan jelas, tegas, tanpa ragu-ragu.
Ada yang belum mengerti dengan jawaban santri ini?
Dia menyebutkan namanya lengkap dengan gelar di belakangnya!
Saya menjawab "masya Allah" berkali-kali sambil kembali duduk.
Tak lama kemudian ayahnya datang, dan sempat berbincang dengan saya, lalu beliau pamit duluan.
Sambil memandang ayah-anak sholeh tersebut berjalan pulang, wajah "nave-ya" saya kembali tersenyum sambil bergumam dalam hati,
"ya Allah, tambahkan gelar DR di depan nama anak itu, kelak..."
Robbanaa hablanaa min azwaajinaa wa dzurriyyaatinaa qurrota a'yuniw waj 'alnaa lil muttaqiina imaamaa.
Buyung Eko.
Wali santri DR. Emil Saleh Pramudya, Lc, MA (aamiin)